Bogor | HSB – Di tengah geliat digitalisasi pemerintahan dan seruan transparansi, sejumlah pejabat di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bogor justru menunjukkan gejala akut. Minim pemahaman atau bahkan sengaja mengabaikan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).
Dalam beberapa bulan terakhir, redaksi kami mencatat setidaknya penolakan informasi saat dikonfirmasi dari badan publik di wilayah administratif tersebut. Alasannya klise: “tidak ada disposisi”, “informasi tidak bisa diberikan tanpa izin kepala dinas”, atau “harus menunggu persetujuan pimpinan”. Namun ketika ditanya tentang dasar hukumnya, tak satu pun yang mampu menjawab merujuk pada Pasal atau ketentuan UU KIP.
Kebiasaan lama, penyakit lama.
Kasus terbaru terjadi ketika seorang jurnalis mengajukan permintaan data pembangunan fisik dari salah satu dinas teknis di Kabupaten Bogor. Alih-alih dilayani sesuai prosedur permohonan informasi, pejabat justru meminta surat pengantar redaksi, tanda tangan kepala redaksi, bahkan fotokopi KTP, seolah-olah informasi publik adalah barang pribadi yang hanya bisa diakses dengan “izin khusus”.
Proses tarik-ulur ini memakan waktu lebih dari 20 hari kerja melebihi batas waktu yang diatur dalam UU KIP. Saat didesak, pejabat terkait malah menyebutkan bahwa data tersebut “belum siap dipublikasikan”. Padahal, Pasal 11 ayat (1) UU KIP jelas menyatakan: “Setiap Badan Publik wajib menyediakan informasi publik yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan.”
Antara ketidaktahuan dan kesengajaan
Fenomena ini menimbulkan dua dugaan yang tak bisa diabaikan. Pertama, adanya minimnya pelatihan dan pemahaman pejabat daerah terhadap substansi UU KIP. Kedua, yang lebih serius, adalah dugaan adanya motif untuk menyembunyikan informasi tertentu karena potensi pelanggaran dalam pelaksanaan program atau penggunaan anggaran. Dalam konteks ini, penghalangan akses informasi bukan lagi kelalaian administratif, melainkan indikasi pelanggaran hukum.
Kita perlu bertanya: apa yang sedang disembunyikan? Apakah karena laporan anggaran tidak sinkron? Apakah karena proses pengadaan penuh konflik kepentingan? Ataukah karena proyek strategis daerah ternyata dikerjakan oleh perusahaan milik kerabat pejabat?
UU KIP tak memberi ruang untuk interpretasi pribadi. Pejabat publik adalah pengelola informasi yang dibiayai uang rakyat. Menolak memberikan informasi tanpa dasar hukum yang sah sama saja dengan mengkhianati prinsip good governance.
Jika keterbukaan dianggap membahayakan, maka barangkali yang bermasalah bukan informasinya, tapi pejabatnya.
Catatan Redaksi: Kami membuka ruang bagi para pejabat publik Kabupaten Bogor untuk memberikan klarifikasi.