Opini  

Ikatan Ahli Konstruksi Indonesia, Nurhadi Pakaya: Pengawasan Proyek Negara Harus Ketat

Bandung | HSB – Di sebuah ruangan sederhana namun sarat determinasi di kantor pusat Ikatan Ahli Konstruksi Indonesia (IAKI), empat figur duduk dalam formasi serius. Mereka mengikuti Musyawarah Anggota Khusus yang digelar pada 19 Juli 2025. Di belakang mereka terbentang spanduk besar simbol agenda penting pembenahan internal, penyegaran kepemimpinan, dan reposisi peran organisasi dalam lanskap dunia konstruksi nasional yang makin kompleks.

Sebagai asosiasi profesi, IAKI kerap berdiri di garis depan isu-isu teknis pembangunan. Namun, tantangan yang dihadapi para ahli konstruksi Indonesia jauh melampaui urusan teknis. Dari sorotan tajam atas rendahnya mutu infrastruktur, konflik kepentingan dalam pengadaan proyek pemerintah, hingga tekanan pemenuhan standar internasional semua menuntut organisasi ini untuk tampil bukan hanya sebagai wadah keilmuan, tapi juga sebagai penjaga etika dan mutu.

PASANG IKLAN

Dalam pernyataannya, Nurhadi Pakaya, S.T., mewakili peserta musyawarah, menjelaskan empat agenda utama yang dibahas:

β€œPertama, pemilihan Ketua Umum IAKI periode 2025–2030. Kedua, penyusunan program kerja strategis. Ketiga, pembenahan legalitas formal organisasi. Keempat, inventarisasi ulang keanggotaan di 17 provinsi yang telah membentuk DPD IAKI. Kami siap bersinergi dengan pemerintah melalui LPJK Kementerian PUPR untuk memperkuat peran asosiasi dalam menghadapi tantangan jasa konstruksi nasional.”

Namun, musyawarah ini bukan sekadar forum administratif. Pertanyaannya: apakah IAKI cukup independen untuk bersuara lantang saat menemukan pelanggaran teknis dalam proyek-proyek negara? Ataukah asosiasi ini akan terus berada dalam posisi seremonial, hadir dalam pembukaan proyek tapi diam saat kualitas dipertaruhkan?

Fakta di lapangan berbicara lain. Banyak proyek infrastruktur mangkrak bukan karena kurangnya teknologi atau tenaga ahli, tetapi karena lemahnya pengawasan dan rendahnya integritas pelaku jasa konstruksi. Celah inilah yang seharusnya diisi IAKI bukan sebagai pelengkap birokrasi, tapi sebagai mitra kritis sekaligus watchdog teknis.

IAKI seharusnya berani mengambil sikap: mengoreksi praktik value engineering yang menyimpang, melaporkan rekayasa teknis yang menurunkan kualitas, hingga menjadi benteng terakhir integritas konstruksi nasional.

Langkah ini tentu tidak mudah. Di tengah kuatnya jejaring kepentingan antara kontraktor, birokrasi, dan konsultan, organisasi profesi seperti IAKI kerap dihadapkan pada pilihan sulit menjaga integritas atau kehilangan akses.

Namun sejarah akan mencatat, bukan mereka yang nyaman dalam kompromi, melainkan mereka yang menjaga jarak dari pragmatisme dan berpihak pada mutu.

Di tengah rapuhnya fondasi moral proyek publik, mungkin sudah waktunya IAKI berdiri sebagai paku bumi terakhir yang menjaga tegaknya etika konstruksi Indonesia.

(Red)

Penulis: Oleh Redaksi Hariansinarbogor.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *