Harian Sinar Bogor

Menyajikan Berita Teraktual dan Terpercaya

Ketua PETIR: Kolektor Belajar Dari Hukum, Bukan Emosi

Bogor | HSB – Di tengah maraknya kasus penagihan utang yang berujung ricuh, bahkan kadang disertai kekerasan fisik, muncul pertanyaan mendasar. Mengapa sebagian kolektor lupa bahwa hukum sebenarnya sudah memberi jalan yang elegan untuk menagih dengan bermartabat?

Penagihan bukan sekadar urusan uang, tetapi juga soal etika dan kepatuhan terhadap aturan. Dalam konteks ini, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2011 menjadi panduan utama yang semestinya dijadikan pijakan setiap kolektor atau perusahaan pembiayaan.

UU Jaminan Fidusia secara tegas menyebutkan, kreditur yang memiliki sertifikat fidusia berhak mengeksekusi objek jaminan apabila debitur wanprestasi. Namun hak itu tidak berarti kebebasan mutlak. Ada syarat penting yang sering dilupakan sertifikat harus terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM dan memiliki titel eksekutorial. Tanpa itu, penarikan paksa atas kendaraan atau barang jaminan adalah tindakan melawan hukum.

Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2011 pun hadir untuk mempertegas batasan tersebut. Polisi hanya berperan dalam pengamanan eksekusi, bukan sebagai pelaksana penarikan. Kolektor yang beraksi tanpa surat tugas resmi, apalagi mengandalkan kekuatan intimidasi, sejatinya menodai keadaban hukum dan mencoreng wajah lembaga pembiayaan itu sendiri.

Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Petir Bogor Raya Andre Kei Letsoin mengatakan, Sikap elegan dalam menagih justru lahir dari pemahaman terhadap aturan main. Kolektor yang sopan, membawa surat tugas, berbicara dengan bahasa yang tidak mengancam, dan menghormati hak debitur, sesungguhnya sedang menjaga martabat profesinya. Sebaliknya, tindakan kasar atau penarikan di jalan raya bukan hanya melanggar etika, tapi bisa menyeret perusahaan ke ranah pidana,” katanya. Kepada wartawan di Bogor. Rabu, (29/10/2025).

Ia menambahkan, Menagih dengan elegan bukan kelemahan, melainkan bukti profesionalisme. Di tengah meningkatnya tensi ekonomi masyarakat, kepatuhan pada hukum menjadi benteng agar konflik tak berubah menjadi kekerasan.

Seperti kata pepatah, “Keadilan tidak lahir dari tangan yang keras, tetapi dari kepala yang tunduk pada aturan.”

Kini, sudah waktunya para kolektor belajar menagih dengan hukum, bukan dengan emosi. Karena di negeri hukum, elegan itu bukan pilihan melainkan kewajiban.” tutupnya.

(Deva)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup