Rehabilitasi Narkoba di Bogor Wajib Memenuhi Standar Melindungi Hak

Bogor | HSB – Keberadaan lembaga rehabilitasi narkoba seharusnya menjadi jawaban atas meningkatnya prevalensi penyalahgunaan narkotika di Indonesia. Namun di Bogor dan banyak daerah lain, potret layanan pemulihan belum sepenuhnya mencerminkan apa yang diamanatkan oleh negara. Lebih dari sekadar struktur gedung, rehabilitasi harus bermuara pada keamanan pasien, kompetensi tenaga, dan kepatuhan hukum.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika secara tegas menyatakan bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial sebagai bentuk upaya pemulihan terpadu. Pasal 54 dan Pasal 55 UU ini menempatkan rehabilitasi bukan sebagai pilihan, melainkan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh penyelenggara layanan.
Secara operasional, sejumlah aturan turunannya mengatur pelaksanaan rehabilitasi. Di antaranya adalah Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 11 Tahun 2014 tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi yang menjadi pedoman klinis bagi fasilitas rehabilitasi.
Selain itu, ada juga Permenkes No. 2415/MENKES/PER/XII/2011 tentang Rehabilitasi Medis Pecandu, Penyalahguna dan Korban Penyalahgunaan Narkoba, yang menekankan aspek medis dalam pelayanan rehabilitasi. Di ranah sosial, Peraturan Menteri Sosial No. 9 Tahun 2017 mengatur Standar Nasional Rehabilitasi Sosial bagi pecandu dan korban penyalahgunaan zat adiktif.
Rehabilitasi bukan bentuk hukuman, tetapi kesempatan untuk pemulihan dan masyarakat harus memanfaatkan program ini untuk membantu pengguna kembali produktif. Dalam agenda terbaru, BNN juga memperkuat standar layanan melalui Indeks Kapabilitas Rehabilitasi (IKR), sebuah ukuran komprehensif untuk memastikan lembaga rehabilitasi memenuhi aspek kualitas, aksesibilitas, dan kontinuitas layanan. Dikutip dari laman resmi bnn.go.id
Pendekatan medis juga menjadi fokus dan pentingnya pelatihan dan peningkatan kompetensi tenaga rehabilitasi agar mereka memahami fisiologi, terapi gangguan penggunaan zat, dan pelayanan berkelanjutan sesuai standar nasional.
Namun kenyataan di lapangan tak selalu sejalan dengan regulasi. Banyak lembaga yang beroperasi tanpa keterbukaan tentang izin, standar fasilitas, dan kompetensi tenaga. Ketika transparansi minim, akuntabilitas juga tergerus. Rehabilitasi narkoba tidak boleh sekadar menjadi label.
Ia harus berdasar pada data, audit berkala, dan standar pelayanan yang jelas.
Rehabilitasi yang bermutu bukan hanya soal meluruskan angka prevalensi, tetapi soal melindungi hak asasi manusia pasien.
Negara berkewajiban menyediakan layanan yang aman, efektif, dan manusiawi sesuai regulasi yang berlaku dari UU sampai Permenkes.
Ketika ketentuan hukum menjadi hidup melalui pengawasan yang serius, baru kita bisa berharap Bogor memiliki layanan rehabilitasi yang bukan hanya ada, tetapi aman, berkualitas, dan dipertanggungjawabkan publik.
Oleh: Redaksi Hariansinarbogor.com










