Kota Bogor – Keputusan Wali Kota Bogor, Dedie A. Rachim, terkait penetapan status konflik skala kota terhadap kawasan pembangunan Masjid Imam Ahmad bin Hambal (MIAH) menuai kritik tajam dari Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Bogor Raya.
Mereka menilai kebijakan tersebut reaktif, tidak solutif, dan mencederai supremasi hukum serta hak-hak sipil umat yang dilindungi konstitusi.
Keputusan tersebut tertuang dalam SK Wali Kota No. 100.3.3.3/Kep.192-Huk.HAM/2025. Namun, menurut aliansi, penyegelan area pembangunan masjid bertentangan dengan dua putusan sah dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung yang telah bersifat final dan mengikat: Nomor 150/Pen.Eks/2017/PTUN-BDG dan Nomor 32/Pen.Eks/2018/PTUN-BDG.
“Tindakan Wali Kota yang tetap menyegel kawasan meski ada putusan hukum adalah bentuk pembangkangan terhadap prinsip negara hukum,” ujar Dadan, Ketua Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Bogor Raya, dalam pernyataannya pada Rabu (18/6).
Dadan menilai, pendekatan yang diambil Pemerintah Kota Bogor berbahaya secara politik dan sosial. Ia menyebut, keputusan ini menunjukkan bahwa Pemkot lebih tunduk pada tekanan politik ketimbang pada hukum yang berlaku.
“Apa lagi yang perlu dinegosiasikan jika hukum sudah bicara? Jika kepala daerah merasa lebih tinggi dari pengadilan, maka bukan hanya hukum yang dilanggar, tapi juga fondasi republik ini,” tegasnya.
Aliansi juga menyoroti sikap Pemkot yang membuka ruang mediasi pasca-putusan pengadilan namun tetap memilih penyegelan setelah tidak tercapai kesepakatan.
Menurut ia, ini menjadi preseden buruk, karena menunjukkan bahwa keputusan pengadilan bisa diabaikan bila ada tekanan sosial-politik tertentu.
“Dengan dalih mencegah konflik sosial, Pemkot justru menimbulkan rasa ketidakadilan baru di masyarakat,” lanjut Dadan.
Selain itu, aliansi mengkritik ketiadaan kajian ilmiah atas narasi konflik sosial yang dijadikan dasar kebijakan.
Ia menilai tidak ada transparansi terkait hasil evaluasi mediasi, pemetaan konflik, atau kajian sosial independen yang menjadi dasar terbitnya SK tersebut.
Secara konstitusional, mereka menegaskan bahwa kebijakan tersebut melanggar Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa putusan pengadilan merupakan perintah hukum yang wajib dipatuhi oleh semua pihak, termasuk pemerintah daerah.
“Wali Kota tidak memiliki kewenangan membatalkan implikasi hukum dari putusan pengadilan melalui surat keputusan administratif. Ini adalah bentuk nyata pembajakan hukum oleh kebijakan eksekutif,” pungkas Dadan.
(Red)