Jakarta | HSB – Persidangan perkara korupsi dengan terdakwa Hasto Kristiyanto diwarnai perdebatan sengit antara ahli hukum dan tim penasihat hukum di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis, 5 Juni 2025.
Majelis hakim yang diketuai Rios Rahmanto dengan anggota Sunoto dan Sigit Herman Binaji menggelar sidang dengan agenda pemeriksaan ahli dari Universitas Gadjah Mada. Sidang berlangsung nyaris tujuh jam, diwarnai adu argumen panas, hingga majelis berkali-kali menenangkan jalannya persidangan.
Jaksa Penuntut Umum KPK menghadirkan Dr. Muhammad Fatahillah Akbar, pakar hukum pidana dari UGM, sebagai satu-satunya ahli. Ia memberikan keterangan soal konstruksi hukum Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi—pasal yang mendasari dakwaan terhadap Hasto.
Namun, pemeriksaan berubah menjadi debat akademis ketika penasihat hukum Hasto, Febri Diansyah, mantan juru bicara KPK, mempertanyakan tafsir terhadap pasal tersebut.
Delik Formil atau Materiel?
Febri membuka perdebatan dengan mempertanyakan sifat Pasal 21. “Apakah ini delik formil atau materiel?” katanya di ruang sidang Pengadilan Tipikor, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat.
Dr. Fatahillah menjawab tegas: pasal itu merupakan delik formil. Artinya, perbuatan pidana dianggap selesai saat perbuatan dilakukan, tanpa perlu membuktikan akibatnya.
“Yang penting adalah adanya perbuatan mencegah, merintangi, atau menggagalkan proses hukum, bukan hasil akhirnya,” ujar Fatahillah.
Febri kemudian menggugat frasa dalam pasal tersebut, yakni: penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Ia mempertanyakan apakah unsur-unsur itu bersifat alternatif atau kumulatif.
Debat Kata ‘Dan’
Febri menyorot penggunaan kata “dan” dalam pasal itu. “Kalau maksudnya alternatif, seharusnya pakai ‘atau’. Ini membingungkan dan membuka ruang multitafsir,” kata Febri. Ia menegaskan, dalam hukum pidana, ketidakjelasan norma harus ditafsirkan menguntungkan terdakwa.
Dr. Fatahillah tidak goyah. Ia menekankan bahwa dalam praktik peradilan dan yurisprudensi, kata “dan” dalam konteks itu ditafsirkan sebagai alternatif.
“Artinya, cukup terbukti ada upaya menghalangi salah satu tahapan saja baik penyidikan, penuntutan, atau persidangan maka unsur pasal terpenuhi,” ujarnya.
Ia juga menjelaskan bahwa penafsiran hukum tak hanya berdasarkan gramatika. “Tapi juga mempertimbangkan tujuan pembentukan undang-undang dan konteks penerapannya. Kalau ditafsirkan kumulatif, akan sangat sulit menjerat pelaku yang hanya menghalangi satu tahapan,” katanya.
Relevansi ke Kasus Hasto
Menjawab pertanyaan majelis hakim soal relevansi pasal dengan dakwaan terhadap Hasto, Dr. Fatahillah menyebut jaksa hanya perlu membuktikan adanya perbuatan aktif dalam menghalangi penyidikan.
“Berdasarkan dakwaan, terdakwa diduga memerintahkan agar ponsel Harun Masiku direndam dalam air, serta menginstruksikan orang dekatnya, Kusnadi, untuk menenggelamkan ponsel guna menghindari penyitaan penyidik,” ujarnya.
Sidang Memanas, Hakim Menenangkan
Sidang sempat memanas ketika Febri melontarkan kritik tajam terhadap logika penafsiran yang disampaikan ahli. Ia mengingatkan soal prinsip asas legalitas dalam hukum pidana: bahwa hukum harus terang dan tak membuka ruang spekulasi.
“Kalau pasalnya kabur, bagaimana terdakwa bisa tahu mana yang boleh dan tidak?” katanya.
Beberapa kali interupsi muncul dari kubu penasihat hukum. Majelis hakim harus turun tangan menenangkan perdebatan.
“Setiap pasal bisa ditafsirkan berbeda,” kata Dr. Fatahillah menutup keterangannya. “Tapi penafsiran hakim tetap berpedoman pada asas hukum pidana dan yurisprudensi.”
Sidang akan berlanjut pekan depan dengan agenda pemeriksaan ahli lainnya dari pihak KPK.
(Red)