Cilacap, Hariansinarbogor.com
Polresta Cilacap diduga gegabah dalam hal penetapan tersangka kasus penadahan Oli Palsu.
Menurut keterangan Kuasa Hukum Nurriski kepada awak media (Ibnu Saechu, SH) di Pengadilan Negeri Cilacap (17/02/2025) mengatakan penetapan tersangka diduga cacat Formil dg tidak ada surat pemanggilan dari Polresta Cilacap.
Pada sidang hari ini (17/02/2025) Kuasa Hukum dari Nurriski membeberkan tentang materi yang disampaikan pada sidang Praperadilan dalam pembelaan Kliennya yang berisikan seperti dibawah ini.
Dalam Perkara Pra Peradilan No. 2/Pid.Pra/2025/PN.Clp
Untuk dan atas nama Pemohon, dengan ini Kami menyampaikan Kesimpulan berdasarkan fakta-fakta hukum yang telah Kami Sampaikan dalam Permohonan Praperadilan, Replik, dan bukti – bukti tertulis serta keterangan saksi yang diperiksa di persidangan sebagai-berikut :
Bahwa dalil Termohon (Polresta Cilacap) dalam Jawabannya menyatakan bahwa tindakan Termohon dalam penegakan hukum jauh dari anggapan kesewenang-wenangan yang tanpa bukti telah melakukan kesalahan, dan dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penyitaan dan penahanan sangat mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam tahap penyidikan tidaklah benar. Karena faktanya terungkap di persidangan penetapan tersangka oleh Termohon sangatlah prematur. Bagaimana tidak, ujug-ujug Termohon datang hendak menangkap dan menahan Pemohon, menetapkan tersangka dan melakukan penyitaan tanpa melakukan penyelidikan mendalam terlebih dahulu.
Begitu hebatnya Termohon sehingga bisa melakukan upaya penangkapan berdasarkan Surat Penangkapan Nomor : SP. KAP/9/I/RES.5.1/2025/RESKRIM Tanggal 17 Januari 2025, Surat Perintah Tugas Penangkapan : SP. KAP/9.B/RES.5.1/2025/RESKRIM Tanggal 17 Januari 2025 (T-41), Surat Ketetapan tersangka NURRIZKI No : S. TAP/10/1/RES.5.1./2025/RESKRIM Tanggal 17 Januari 2025, Surat Perintah Penyitaan dari Saudari Evi (Istri Pemohon) No : SP. SITA/24/1/2025/RESKRIM Tanggal 17 Januari 2025, Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) untuk Pemohon No : B/9/I/REW.1.5./2025 / RESKRIM Tanggal 17 Januari 2025, Gelar Perkara Penetapan Tersangka dan Laporan Hasil Gelar Perkara Penetapan Tersangka NURRIZKI (T-36) tanggal 17 Januari 2025. Semuanya dilakukan dalam satu (satu) hari.
Bahwa dari keterangan Saksi Komarudin, SH dan Listoni Fitriadi, SH membenarkan akan melakukan penangkapan dan penyitaan kepada Pemohon pada Hari Jumat tanggal 17 Januari 2025, hanya saja saat itu dicegah Saksi Sana selaku Kaur Pemerintahan Pemdes Prajawinangun Wetan Ke Kaliwedi Kab Cirebon karena alasan orang tua Pemohon sakit, sehingga Saksi Sana berinisiatif menjemput Pemohon untuk dibawa ke Balai Desa Prajawinangun selanjutnya dibawa ke Mapolsek Kaliwedi. Hal tersebut diperkuat keterangan Saksi Sana dalam sidang Hari Jumat tanggal 14 Februari 2025 dengan agenda pembuktian surat dan keterangan saksi-saksi.
Bahwa di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menentukan bahwa dasar penetapan tersangka adalah bukti permulaan yang dapat dimaknai sebagai dua alat bukti. Hal ini merujuk pada Pasal 1 angka 14 KUHAP jo Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 yang berbunyi: Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan (yang dapat dimaknai sebagai minimal dua alat bukti), patut diduga sebagai pelaku tindak pidana;
Bahwa dalam jawaban Termohon huruf (i) menyebutkan Pemeriksaan Calon Tersangka bukanlah keharusan sebagaimana perintah Undang-undang dan untuk dilakukannya penetapan tersangka dan pemeriksaan calon tersangka juga bukanlah merupakan alat terbukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP. Menilik Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 halaman 98, memang disebutkan: …Agar memenuhi asas kepastian hukum yang adil sebagaimana Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta memenuhi asas lex certa dan lex stricta maka frasa tersebut harus ditafsirkan sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP dan disertai pemeriksaan calon tersangkanya, k.ecuali terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia). Artinya, terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya tersebut, tidak diperlukan pemeriksaan calon tersangka….
Bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) adalah lembaga penegak hukum di Indonesia yang memiliki wewenang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan guna mengungkap tindak pidana dan menentukan siapa tersangkanya. Dalam menjalankan tugasnya, Polri harus mematuhi prosedur yang telah ditetapkan dalam Kitab Undang undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP adalah hukum prosedural yang mengatur bagaimana proses hukum pidana dilakukan, mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan di pengadilan;
Bahwa Polri juga harus mematuhi Peraturan (Kepala Polisi Republik Indonesia) Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana. Peraturan ini merupakan penjabaran lebih lanjut dari KUHAP dan memberikan pedoman bagi Polri dalam melakukan penyidikan tindak pidana. Dengan demikian, Polri memiliki kewajiban hukum untuk menjalankan tugasnya sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Hal ini penting untuk menjamin bahwa proses hukum berjalan dengan adil dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku;
Bahwa Penetapan tersangka adalah tindakan penyidik untuk menunjuk seseorang sebagai tersangka. Penujukan seseorang sebagai tersangka berarti bahwa penyidik telah menduga bahwa seseorang tersebut telah melakukan tindak pidana.Pengertian penetapan tersangka juga dapat dianalisis dari dua aspek, yakni :
Aspek substantif
Aspek substantif penetapan tersangka adalah bahwa penetapan tersangka harus berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Bukti permulaan yang cukup adalah alat bukti yang ada pada saat penyidik melakukan penetapan tersangka, yang menunjukkan adanya dugaan kuat bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana.
Aspek formil
Aspek formil penetapan tersangka adalah bahwa penetapan tersangka harus dilakukan dengan prosedur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam hal ini, prosedur penetapan tersangka diatur dalam KUHAP dan Peraturan
Kapolri No.6 Tahun 2019.
Bahwa Berdasarkan Pasal 1 angka 14 KUHAP, definisi bukti permulaan tidak dijelaskan secara spesifik. Namun, dalam Pasal 1 angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012, bukti permulaan didefinisikan sebagai laporan polisi dan satu alat bukti yang sah yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana, yang menjadi dasar untuk penangkapan. Serta dalam Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 telah menetapkan beberapa hal terkait syarat penetapan tersangka,serta bukti permulaan yang menjelaskan secara detail;
Bahwa karena terdapat syarat-syarat khusus yang diatur dalam Peraturan Kepolisian Nomor 14 tahun 2012. Pasal 36 ayat (1) menyatakan bahwa penangkapan terhadap tersangka hanya dapat dilakukan berdasarkan dua pertimbangan yang harus dipenuhi secara bersamaan (kumulatif), bukan sebagai pilihan yang saling menggantikan. Pertimbangan-pertimbangan tersebut adalah:
Adanya bukti permulaan yang cukup, yaitu laporan polisi didukung oleh satu alat bukti yang sah, dengan mempertimbangkan ketentuan Pasal 185 ayat (3), Pasal 188 ayat (3), dan Pasal 189 ayat (1) KUHAP.
Tersangka tidak hadir tanpa alasan yang wajar setelah dipanggil dua kali berturut-turut oleh penyidik. Penangkapan hanya dapat dilakukan jika tersangka tidak hadir tanpa alasan yang wajar setelah dua kali dipanggil berturut-turut oleh penyidik. Jika tersangka selalu hadir saat dipanggil oleh penyidik, sesuai dengan perintah Perkap Nomor : 6 Tahun 2019, tidak diperbolehkan melakukan penangkapan terhadapnya. Hal yang sama berlaku jika tersangka hanya dipanggil satu kali dan telah menghadap pada penyidik untuk pemeriksaan, dalam kasus ini juga tidak boleh langsung dilakukan penangkapan;
Bahwa Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 menang secara resmi mencabut Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 yang sebelumnya mengatur tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 03 Oktober 2019. Perbedaan utama adalah terkait dengan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Dalam KUHAP, SPDP dikeluarkan oleh penyidik kepada penuntut umum setelah penyidik menerima laporan atau keterangan bahwa telah terjadi tindak pidana. SPDP ini berfungsi sebagai pemberitahuan bahwa penyidik telah memulai proses penyidikan. Namun, dalam Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019, SPDP dikeluarkan setelah penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup tentang adanya tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Dengan kata lain, SPDP dikeluarkan setelah seseorang ditetapkan sebagai tersangka. Perbedaan ini penting karena menentukan kapan seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka dalam proses hukum. Dalam Peraturan Kapolri, seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka setelah penyidik menerima laporan atau keterangan tentang adanya tindak pidana. Sedangkan dalam KUHAP, seseorang baru dapat ditetapkan sebagai tersangka setelah penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup. Jadi tidak ada pertentangan terhadap dasar hukum yang dikemukakan Pemohon karena dalam peraturan sebelumnya disebutkan secara gamblang perihal surat Pemanggilan dalam penyidikan. Dan tentunya peraturan kapolri yang baru merupakan penyempurnaan dari peraturan sebelumnya.
Bahwa Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, dapat dikaitkan dengan pembahasan mengenai penetapan tersangka dalam Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019. Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019 mengatur bahwa penyidik wajib melakukan pemeriksaan terhadap tersangka dan saksi terlebih dahulu sebelum menetapkan tersangka. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa penyidik telah memiliki bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan tersangka di mana hal ini menyebabkan timpang tindih antar pasal 14 ayat (2) huruf d dan ayat (3) mengenai identitas tersangka. (Nover)