Bogor | HSB – Proyek rehabilitasi ruang perpustakaan SDN Dukuh, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, kini tengah berlangsung. Berdasarkan papan proyek yang terpasang di lokasi, pekerjaan ini dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, dengan nilai kontrak sebesar Rp196.200.000. Proyek ini dijadwalkan dimulai pada 2 Juli 2025 dan selesai pada 30 Agustus 2025.
Namun, istilah yang digunakan pada papan proyek, yakni “rehabilitasi”, memunculkan tanda tanya di kalangan warga dan pemerhati anggaran publik. Pasalnya, di lapangan, proyek ini bukan hanya sekadar memperbaiki bangunan lama, melainkan membongkar total dan membangun gedung baru.
Dalam kaidah perencanaan pembangunan, istilah rehabilitasi umumnya mengacu pada proses perbaikan atau pemulihan kondisi bangunan lama agar kembali laik dan berfungsi. Bila bangunan diruntuhkan dan didirikan kembali dari nol, maka secara teknis itu termasuk kategori pembangunan baru.
“Kalau bangunannya dibongkar total lalu dibuat bangunan baru, itu namanya bukan rehabilitasi. Itu pembangunan baru. Kalau pakai istilah rehabilitasi, patut diduga ada ketidaksesuaian nomenklatur anggaran,” ujar seorang praktisi konstruksi yang enggan disebutkan namanya. Rabu 30 Juli 2025.
Ketidaktepatan istilah ini bukan sekadar perkara bahasa. Ia bisa menyiratkan persoalan administrasi dan potensi penyimpangan anggaran. Dalam sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah, kategori pekerjaan rehabilitasi, renovasi, atau pembangunan baru berpengaruh pada skema anggaran, dokumen teknis, hingga perizinan.
Dalam proyek ini, CV Matahari Timur tercatat sebagai penyedia jasa, sementara CV Decoria Kreasi Mandiri menjadi konsultan pengawas. Kedua entitas ini berkewajiban memastikan proyek dilaksanakan sesuai dokumen kontrak dan spesifikasi teknis yang telah disepakati.
Jika ternyata proyek ini bukan merehabilitasi tapi membangun baru, maka publik berhak mempertanyakan. Apakah perencanaan dan pelaporan anggarannya sesuai? Apakah ada audit terhadap perubahan fisik di lapangan? Dan mengapa hal seperti ini terus terjadi berulang di proyek-proyek pendidikan?
Transparansi dan akuntabilitas seharusnya menjadi fondasi utama dalam pengelolaan dana publik, terutama di sektor pendidikan. Sebab, setiap rupiah yang dianggarkan bukan sekadar angka dalam dokumen APBD, melainkan harapan bagi masa depan anak-anak bangsa.
(Dev)















