Bogor | HBS – Kematian jurnalis Ayub Iskandar bukan sekadar angka dalam statistik kriminal. Di mata rekan seprofesi, wafatnya Ayub adalah alarm keras bahwa kekerasan terhadap jurnalis masih mungkin terjadi di wilayah yang mengaku berdiri di atas supremasi hukum. Di tengah kabut motif yang belum dibuka polisi, satu hal terasa terang tragedi ini tak boleh dibiarkan menguap sebagai nasib buruk yang diterima begitu saja.
Bagi keluarga besar insan pers, khususnya di Bogor dan sekitarnya, kematian Ayub harus diurai setuntas-tuntasnya, bukan dibiarkan melayang dalam ruang abu-abu. Nyawa manusia, terlebih seorang jurnalis yang bekerja di ruang publik, tidak bisa direduksi menjadi sekadar takdir yang kebetulan buruk.
“Ini kriminal keji, bukan peristiwa biasa,” ujar seorang anggota organisasi pers yang ikut mengawal kasus ini.
Peristiwa bermula dari serangan kelompok orang tak dikenal (OTK) terhadap para pekerja PT Prima Mustika Candra (PMC) di proyek perumahan Tamansari. Ayub yang berada di lokasi untuk kepentingan jurnalistik ikut menerima imbas terburuk ia meregang nyawa. Beberapa pekerja lain menderita luka berat maupun ringan. Motif masih gelap, pelaku belum seluruhnya terungkap, tetapi tekanan publik terus mengeras.
Di tengah keresahan itu, sejumlah pengurus dan anggota Forum Jurnalis Pembela Pers (FJP2) DPC Bogor Raya, bersama jaringan insan pers dan berbagai organisasi kepemudaan, menyatakan sikap. Kasus Ayub harus dikawal ketat. Tidak boleh ada ruang bagi perkara ini untuk diseret menuju penyelesaian setengah hati. Mereka menuntut proses hukum yang presisi, transparan, dan berkeadilan.
Deklarasi FJP2 tegas, akan mengawal penyelidikan hingga peradilan, mendesak aparat penegak hukum membuka motif dan menangkap seluruh pihak yang diduga terlibat. Pengawalan dilakukan bukan hanya melalui advokasi, tetapi juga lewat peliputan investigatif berkelanjutan.
“Kami akan terus menulis, mengingatkan, dan mengawasi,” ujar salah satu anggota tim investigasi.
Dalam negara hukum, keadilan tidak boleh berhenti di spanduk belasungkawa atau konferensi pers. Setiap nyawa yang hilang karena kekerasan harus dibalas dengan proses hukum yang membuat publik percaya bahwa negara bekerja. Bagi insan pers, tewasnya Ayub bukan hanya duka tetapi batas kesabaran, momen ketika solidaritas berubah menjadi tuntutan keras agar marwah hukum dijaga.
Kasus ini kini menjadi sorotan tajam. Publik menunggu apakah aparat penegak hukum akan menjawab dengan keberanian politik dan ketegasan hukum, atau kembali membiarkan kepercayaan warga menguap satu per satu.
(Tim Investigasi FJP2)















