Proyek Tanpa Konsultan, Langgar Aturan Atau Akal-Akalan?

Bogor | HSB – Dalam dunia pengadaan barang dan jasa pemerintah, keberadaan konsultan perencana dan konsultan pengawas bukan sekadar formalitas. Ia adalah penjamin integritas mutu dari sebuah proyek, terlebih ketika bersumber dari dana rakyat baik APBN maupun APBD. Namun di lapangan, praktiknya jauh dari semangat regulasi.

Merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan turunannya, setiap pekerjaan konstruksi wajib dirancang terlebih dahulu oleh konsultan perencana yang memiliki kompetensi. Selanjutnya, pelaksanaan fisik harus diawasi oleh konsultan pengawas independen untuk menjamin kualitas, waktu, dan biaya sesuai spesifikasi teknis.

PASANG IKLAN

Namun pertanyaannya, kenapa masih banyak proyek yang dijalankan tanpa konsultan?

Penelusuran kami di beberapa daerah, termasuk di Kabupaten dan Kota Bogor, menunjukkan adanya kecenderungan praktik “potong jalur”. Beberapa proyek terutama pembangunan jalan lingkungan, gedung fasilitas umum, hingga rehabilitasi ringan dilaksanakan tanpa pendampingan profesional dari konsultan perencana dan pengawas.

Padahal, dalam proyek APBN dan APBD, konsultan adalah syarat normatif yang melekat dalam struktur Rencana Umum Pengadaan (RUP). Tanpa itu, patut diduga proyek tidak memiliki dokumen teknis sah, seperti Detail Engineering Design (DED), Rencana Anggaran Biaya (RAB) terverifikasi, serta laporan pengawasan objektif.

Ketika konsultan tidak dilibatkan, siapa yang menyusun gambar teknis? Siapa yang memastikan jenis material, metode pelaksanaan, dan tahapan mutu? Apakah pekerjaan semata berdasarkan “kebiasaan” dan “feeling” tukang atau arahan instan dari rekanan?

Lebih jauh, absennya konsultan sering menjadi celah munculnya praktek korupsi berjamaah mark-up volume, penggunaan material di bawah standar, pekerjaan fiktif, bahkan pengaturan lelang tertutup.

“Proyek tanpa konsultan biasanya punya agenda tersembunyi. Entah karena mau menghemat di atas kertas atau justru membagi-bagi anggaran ke pihak tertentu,” kata Broger, kepada wartawan, Rabu 23 Juli 2025.

Praktik ini sebagai pelanggaran prosedur dan potensi maladministrasi. “Setiap dana publik harus dikelola sesuai prinsip akuntabilitas. Tanpa konsultan, proyek itu cacat sejak lahir,” tegasnya.

Pihak auditor seperti BPK maupun BPKP pun memiliki catatan merah terhadap proyek-proyek tanpa konsultan. Temuan umum dalam LHP mereka menyebut ketidaksesuaian spek teknis, kelebihan bayar, hingga proyek rusak sebelum waktunya akibat lemahnya pengawasan.

Apakah pemerintah daerah dan kementerian teknis tidak tahu kewajiban ini? Ataukah justru ada pembiaran sistematis demi kepentingan jangka pendek segelintir pihak?

Wajar bila publik menuntut transparansi atas semua proyek yang didanai dari uang rakyat. Keterlibatan konsultan bukan hanya soal prosedur, tapi soal niat baik atau buruk dalam membangun infrastruktur negeri.

Jika proyek tanpa konsultan masih dianggap sah, maka regulasi hanyalah dokumen mati.

(Dev)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *