Opini  

Mendambakan Hakim Berintegritas

Jakarta | HSB – Masalah integritas tak boleh ditawar. Ia adalah harga mati. Tak bisa dikompromikan, bahkan dengan sejuta kompensasi materi maupun fasilitas.

Integritas adalah sikap yang sangat mahal dan bahkan langka. Masalah ini muncul di berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam profesi penegak hukum, terutama hakim.

Namun sekali lagi, integritas tak bisa ditawar. Harga mati. Tak bisa dikompromikan, meski dengan sejuta kompensasi, bahkan dengan ancaman fisik terhadap diri sendiri maupun keluarga. Mempertahankan integritas memang tidak ringan.

Lalu, mengapa hakim harus berintegritas? Jawabannya sederhana: karena ini menyangkut nasib dirinya, keluarganya, dan banyak pihak lain—termasuk elemen bangsa dan negara. Integritas berkaitan langsung dengan keselamatan atau, sebaliknya, kehancuran sistem.

Kita harus mencatat bahwa krisis integritas—baik pada pejabat publik maupun pejabat negara—telah mendorong kehancuran sistem pelayanan publik dan tatanan bernegara. Demikian pula, bila krisis integritas melanda para penegak hukum, khususnya hakim, maka wibawa pengadilan akan runtuh. Martabat hakim pun tergerus. Akibatnya, kejahatan dan pelanggaran akan semakin merajalela.

Secara sosiologis, masyarakat akan dihadapkan pada ketidaknyamanan yang terus-menerus.

Pada titik itu, rakyat akan menggugat: apa guna negara? Padahal, salah satu fungsi negara merdeka adalah menjamin kehidupan rakyat yang bebas dari tekanan, termasuk dalam menikmati keadilan. Ketika kejahatan dan pelanggaran semakin luas, masyarakat akan bertanya: untuk apa ada lembaga pengadilan? Untuk apa hakim bersumpah menegakkan hukum?

Pertanyaan-pertanyaan mendasar ini semestinya menggugah para penegak hukum, khususnya hakim. Ini adalah panggilan nurani bagi mereka untuk menjaga integritas dalam menjalankan profesinya demi kemaslahatan bangsa dan negara.

Kepentingan bangsa dan negara tidak boleh dikorbankan hanya karena membiarkan krisis integritas. Di sinilah relevansi dari moto: “Hakim berintegritas, pengadilan berkualitas.”

Moto itu sungguh indah dan penuh makna. Ia merupakan panggilan jihad yang suci—meski tidak di medan perang fisik. Medan yang dihadapi adalah profesionalisme, dan kemampuan menahan diri dari intervensi eksternal yang bisa menggoyahkan integritas.

Perang batiniah ini justru lebih berat daripada perang fisik bersenjata. Keberhasilan seorang hakim menjaga integritas sering kali tidak diketahui publik. Oleh karena itu, ia harus memiliki pandangan yang religius: biarkan Allah menjadi “sahabat” sejatinya.

Saat Allah bersemayam di hatinya, maka tak ada kenikmatan dunia yang lebih indah. Tantangan sebesar apa pun akan terasa kecil, bahkan bila berupa ancaman fisik. Lebih dari itu, Allah menjanjikan surga bagi hakim yang menegakkan keadilan tanpa pandang bulu.

Integritas hakim sangat berperan dalam menciptakan pengadilan yang berkualitas—bukan hanya dalam proses persidangan, tetapi juga dalam hasil akhir yang dinanti dan didambakan rakyat.

Selamat datang, para hakim yang berintegritas. Di pundakmulah marwah pengadilan dipertaruhkan. Jangan menjadi perusak atau penggerogot nilai-nilai luhur.

Dirgahayu ke-72 Ikatan Hakim Indonesia. Bangsa dan negeri ini terus menanti dan mendambakan dedikasi hakim yang berintegritas, demi harumnya lembaga pengadilan.

(Deva)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *