Jakarta | HSB – Di era banjir informasi, masyarakat kerap hanya menangkap potongan narasi yang bias, tanpa memahami proses hukum yang melatarbelakangi suatu putusan. Akibatnya, kepercayaan terhadap lembaga peradilan bisa tergerus.
Fenomena headline reading kebiasaan membaca judul tanpa menelaah isi berita memperparah keadaan. Dalam isu peradilan, judul sensasional atau pernyataan tanpa konteks hukum kerap membentuk opini publik yang menyimpang. Padahal, setiap putusan lahir melalui proses hukum yang kompleks: berbasis fakta, alat bukti, dan pertimbangan yuridis yang bertanggung jawab.
Untuk menjembatani jurang pemahaman tersebut, Mahkamah Agung perlu memperkuat strategi komunikasi publik yang lebih aktif, edukatif, dan terstruktur. Penulis mengusulkan enam langkah berikut:
1. Optimalisasi Media Sosial Pengadilan
Media sosial adalah kanal komunikasi paling efektif dan cepat menjangkau publik. Namun, akun resmi pengadilan masih banyak memuat dokumentasi kegiatan internal ketimbang menyampaikan proses persidangan atau isi putusan. Jika dikelola secara substansial—misalnya menyajikan jadwal sidang, perkembangan perkara penting, hingga ringkasan putusan—media sosial bisa menjadi sarana kredibel untuk membangun transparansi dan kepercayaan publik.
2. Pembenahan Direktori Putusan
Direktori Putusan Mahkamah Agung mencerminkan komitmen terhadap keterbukaan informasi. Namun, masih banyak kekurangan teknis: sulit diakses, minim pembaruan, dan kurang ramah pengguna. Perlu disediakan fitur khusus untuk high-profile cases—perkara yang menyita perhatian publik—agar masyarakat bisa mengakses dan memahami putusan berdasarkan data sahih, bukan semata opini media.
3. Penerbitan Siaran Pers Resmi
Siaran pers yang sistematis dan resmi dari pengadilan dapat menjadi alat penjernih informasi. Narasi hukum yang disampaikan secara utuh—latar belakang perkara, jalannya persidangan, dan alasan hukum—mampu mengurangi simpang siur informasi serta menjawab kebutuhan publik akan kejelasan.
4. Pelatihan Jurnalistik bagi Humas
Humas pengadilan mesti dibekali keterampilan jurnalistik agar mampu menyampaikan informasi hukum secara jelas, akurat, dan mudah dipahami publik. Pelatihan ini akan memperkuat kemampuan humas dalam menulis siaran pers yang informatif dan menyusun narasi hukum yang tidak terjebak jargon yuridis.
5. Penguatan Peran Juru Bicara
Juru bicara adalah wajah lembaga peradilan di hadapan publik. Mereka harus mampu merespons isu dengan bahasa yang lugas, profesional, dan meredam krisis. Diperlukan pelatihan komunikasi publik serta manajemen krisis untuk membekali mereka menghadapi tekanan informasi secara cermat dan terarah.
6. Memberdayakan Generasi Milenial dan Teknologi AI
Generasi milenial di lingkungan pengadilan yang akrab dengan teknologi memiliki potensi besar dalam mengemas informasi hukum secara menarik—melalui video edukatif, infografis, hingga chatbot berbasis kecerdasan buatan. Pemanfaatan AI dapat mempercepat distribusi informasi dan memperluas jangkauan literasi hukum masyarakat.
Langkah-langkah di atas bertujuan membangun komunikasi publik yang transparan dan berbasis edukasi. Ketika masyarakat memahami proses hukum secara utuh, penilaian terhadap putusan menjadi lebih objektif, dan ruang disinformasi pun menyempit.
Pengadilan bukan hanya pemutus perkara, tapi juga agen literasi hukum. Komunikasi yang jernih, terbuka, dan empatik akan memperkuat legitimasi lembaga peradilan di mata publik.
(Deva)