Bogor | HSB – Proyek rekonstruksi jalan lingkar selatan Kelurahan Cibinong, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor, kembali memantik perhatian publik. Di papan proyek yang terpasang, kegiatan tersebut tercatat sebagai pekerjaan “Rekonstruksi Jalan Lingkar Selatan Keradenan Raya” senilai Rp 2,07 miliar, dikerjakan oleh CV Cipta Widya Dharma dengan pengawasan konsultan PT Rancang Buana Persada, di bawah naungan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Bogor.
Namun di lapangan, wartawan menemukan penggunaan dua merek precast box culvert berbeda yakni PT Sultan Cipta Perkasa (SCP) dan PT Bogor Persada Indonesia (BPI) untuk saluran drainase di satu ruas pekerjaan yang sama. Fakta ini memunculkan pertanyaan serius soal standar mutu dan keseragaman material pada proyek pemerintah.
Lebih mengejutkan, kontraktor pelaksana menyatakan bahwa sebagian box culvert tersebut merupakan hasil sumbangan warga, bukan pembelian dari dana proyek Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Bogor.
Padahal, dalam Peraturan Menteri PUPR Nomor 14 Tahun 2020 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi, disebutkan bahwa “setiap bahan dan peralatan konstruksi harus memenuhi spesifikasi teknis yang ditetapkan dan berasal dari sumber yang sah dalam dokumen kontrak.” Artinya, penggunaan material yang tidak tercantum dalam kontrak resmi bisa dikategorikan sebagai pelanggaran administratif dan berpotensi merugikan keuangan negara.
Ahli teknik sipil dari Ikatan Ahli Konstruksi Indonesia (IAKI), Ir. Nurhadi Pakaya, S.T., menilai penggunaan dua merek box culvert berbeda di satu sistem drainase berisiko menimbulkan perbedaan mutu dan sambungan.
“Setiap produk precast memiliki desain sambungan dan mutu beton yang berbeda. Jika disambungkan antar-merek, potensi kebocoran dan retak bisa muncul karena tidak kompatibel secara teknis,” jelas Nurhadi saat dihubungi. Sabtu, (1/11/2025).
Nurhadi menegaskan, box culvert yang berlabel Standar Nasional Indonesia (SNI) sekalipun harus digunakan secara konsisten dari satu produsen agar kualitas sistem drainase terjamin.
“Dalam pekerjaan pemerintah, yang terpenting bukan hanya ada logo SNI, tetapi juga keseragaman dan kesesuaian spesifikasi material,” tambahnya.
Sementara itu, penggunaan material dari “sumbangan warga” menimbulkan persoalan etis dan administratif. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, setiap pengeluaran dan penerimaan material harus dicatat dalam dokumen kontrak, termasuk sumber dan nilai barang. Jika tidak tercatat, maka tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak Dinas PUPR Kabupaten Bogor belum memberikan keterangan resmi terkait pernyataan kontraktor dan temuan dua merek precast berbeda di lokasi proyek.
Kasus ini memperlihatkan adanya celah pengawasan pada proyek infrastruktur daerah. Bila benar ada material hasil sumbangan warga digunakan di proyek yang didanai APBD, publik berhak bertanya, siapa yang sebenarnya bertanggung jawab atas mutu dan keabsahan pekerjaan ini?
(DevChoz)















